Oleh : AM Iqbal Parewangi*
Cuma sebuah kata, memang : toleransi. Namun bisa dahsyat saat tiba di kecerdasan berhati. Bisa melebihi seabrek permata jika tepat makna. Atau melebihi sebarak senjata jika salah kaprah.
Catatan serial sederhana ini diawali dengan mereferensi makna toleransi dalam pandangan Islam. Berikutnya, menguliti contoh praktek intoleransi ataupun toleransi yang disalah-kaprahkan, dengan racikan data dan informasi dari berbagai sumber.
Pada bagian akhir, diselancari peran strategis pemimpin dalam meluruskan arah jalan toleransi.
14 abad silam, jauh sebelum UNESCO menggelar Deklarasi Prinsip Toleransi pada 16 November 1995 dan Majelis Umum PBB menetapkan 16 November sebagai Hari Toleransi Internasional atau International Day for Tolerance, Islam sudah mengajarkan secara kaffah pentingnya memaknai perbedaan dan toleransi.
Bahwa sesungguhnya perbedaan itu hukum semesta, sepercik sunnatullah. Atom saja beragam jenis. Bahkan untuk yang sejenis pun bisa berbeda, dinamai isotop. Virus pun berbeda-beda. Coronavirus, penyebab pandemi COVID-19, cuma salah satu diantara begitu banyak jenis makhluk supermini itu. Apalagi manusia, perbedaannya sangat beragam.
Perbedaan diantara manusia diyakini by design. PERTAMA, pada wilayah muamalah, perbedaan merupakan ladang pahala bagi ikhtiar “isra'” manusia menyulam kemanusiaan, dengan tujuan hakiki : lita’arafu, untuk saling kenal-mengenal.
Dan KEDUA, pada wilayah aqidah, perbedaan menjadi ladang kemuliaan bagi ikhtiar “mi’raj” manusia menapaki tangga kemuliaan hakikinya, dengan tujuan absolut : atqakum, paling bertaqwa.
“Wahai manusia,” firman Allah SWT di awal QS. Al-Hujurat : 13, “sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.”
Dengan memelihara tujuan lita’arafu atas ikhtiar “isra'” manusia memaknai perbedaan, muncullah antara lain buah sosial nan lezat : tenggang rasa, sikap menghargai dan saling menghormati. Buah itu disebut tolerance di Barat dan tasamuh dalam bahasa Arab.
Perhatikan bagaimana Islam memaknai toleransi atau tasamuh dengan cara luar biasa. Toleransi tidak saja diletakkan sebagai sikap insani berkategori “buah sosial nan lezat”. Toleran, akar kata toleransi, bahkan dilekatkan sebagai salah satu dari dua identitas agama yang paling dicintai Allah : lurus dan toleran.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, disebutkan Nabi Muhammad SAW ditanya : “Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah bersabda : “al-Hanifiyyah as-Samhah”. Hanif berarti lurus, samhah berarti toleran. Di hadits lain yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda : “Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran.”
Sungguh indah, positif, dan solutif tuntunan Islam terkait toleransi. Disadarkan bahwa perbedaan adalah sunnatullah. Bukan ceruk pertentangan diantara sesama insan, apalagi insan seaqidah. Bahwa manusia diciptakan berbeda-beda, lita’arafu. Untuk saling kenal-mengenal, bukan untuk saling jegal dan saling jagal. Bahwa salah-satu, bukan satu-satunya, buah dari keagungan lita’arafu itu adalah bersinarnya toleransi.
Ringkasnya, tuntunan toleransi tuntas dalam Islam. Wajar saja jika ada yang berujar kalem tapi dalem : jangan ajari Muslim tentang toleransi, kecuali anda siap belajar toleransi yang benar.
Meski demikian, dalam mendidikkan hakekat perbedaan diantara manusia secara kaffah, solusi Islam tidak berakhir pada ikhtiar “isra'” toleransi saja. Islam melanjutkannya dengan membimbing manusia menyusuri tangga ikhtiar “mi’raj” solusi taqwa.
Betapapun toleransi terbatas pada ranah muamalah, dan tidak pada ranah aqidah. Toleransi muamalah, yes. Toleransi aqidah, no. “Lakum dinukum wa liyadin.” (QS Al-Kafirun:6)
Toleransi menjadi solusi mujarab terhadap fitrah perbedaan yang bersifat relatif : suku dan ras, bangsa dan bahasa, budaya dan kepercayaan, warna mata dan kulit, agama, juga strata sosial.
Akan tetapi, toleransi tidak mujarab pada wilayah perbedaan yang lebih tinggi, yang pembedanya bersifat absolut : perbedaan level kemuliaan manusia ditentukan oleh perbedaan derajat taqwanya.
Pada perbedaan bertakaran derajat taqwa itu, toleransi bukan solusi. Di situ, toleransi trans-aqidah bahkan dapat menjadi tsunami peruntuh harmoni : meruntuhkan hablun minannas, apalagi hablun minallah.
Di situ, dengan segenap penghargaan dan ajaran mulianya terkait toleransi muamalah, Islam menghamparkan permadani solusi lain. Solusi yang lebih tinggi dan hakiki. Solusi imani : kemuliaan berbasis derajat taqwa. Solusi taqwa!
“Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa,” lanjut firman Allah SWT di akhir QS. Al-Hujurat : 13. “Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
“Perhatikanlah, sesungguhnya kebaikanmu bukan karena kamu dari kulit merah dan tidak pula dari kulit hitam, melainkan kamu beroleh keutamaan karena taqwa kepada Allah.” (HR. Ahmad)
Dengan “mi’raj” solusi taqwa, Islam menuntun umat manusia untuk beranjak lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Menyusuri tangga demi tangga kemuliaan hakiki menuju level “yang paling mulia”, seiring derajat taqwa yang meningkat semakin tinggi menuju “yang paling bertaqwa”.
Sampai di sini, simak lebih jernih, semakin tersadari bahwa sesungguhnya solusi toleransi merupakan bagian terpadu dari solusi taqwa. Solusi toleransi mujarab pada wilayah perbedaan muamalah, namun tidak pada perbedaan aqidah. Sementara solusi taqwa mujarab pada semua, muamalah ataupun aqidah, hablun minannas maupun hablun minallah.
Dengan sinaran solusi taqwa, Islam sebagai agama hanif dan samhah menuntun umat manusia untuk lurus dan toleran. Islam menyadarkan bahwa memaknai perbedaan tidak saja perlu toleran, tapi juga harus lurus. Islam mendidik untuk toleran di jalan yang lurus, sembari meluruskan jalan toleransi. Dan tidak berhenti sampai di situ. Islam melanjutkan dengan membimbing manusia menyusuri jalan kemuliaan sejati, jalan taqwa.
Sesungguhnya, taqwa merupakan solusi komprehensif terhadap seluruh bentuk perbedaan diantara anak manusia. Meliputi perbedaan yang bersifat relatif, seperti suku, bangsa, ras, budaya, juga agama. Hingga perbedaan level kemuliaan yang pembedanya bersifat absolut : derajat ketaqwaan.
Komprehensifnya solusi Islam terhadap perbedaan, dengan lita’arafu dan atqakum sebagai tujuan utamanya, menuntun setiap pribadi Muslim untuk senantiasa berikhtiar menjaga derajat kemanusiaan dan kemuliaannya. Termasuk dengan sabar, rendah hati, dan toleran.
Masalah lain kemudian muncul, terutama dari pihak-pihak islamophobia. Kafir maupun munafik.
Mereka manfaatkan segenap ikhtiar pribadi Muslim itu, sabar dan rendah hati itu, lurus dan toleran itu, justru untuk leluasa mendiskreditkan dan mendiskriminasi umat Islam. Mereka, baik ketika mayoritas maupun minoritas, kerap memanfaatkan senjata intoleransi ataupun toleransi yang disalah-kaprahkan. (BERSAMBUNG)
- (Ketua Majelis Istiqamah ICMI Muda Indonesia, Ketua Badan Kerjasama Parlemen DPD RI 2014-2019)