Okto Irianto dalam ngaji kepemimpinan dalam Islam yang diselenggarakan Dialektika Institute bekerja sama dengan ICMI Muda, Lembaga Survei Independen Nusantara, dan Kliksaja.co pada Minggu (03/04/2022) menegaskan bahwa kepemimpinan Nabi sangat terbuka dan egaliter.
Mengawali pemaparannya dalam diskusi tersebut, Okto Irianto menjelaskan bahwa kepemimpinan Nabi bisa berasal dari dua sumber: pertama, kepemimpinan berbasis wahyu yang berasal dari Allah dan kedua, kepemimpinan yang merupakan hasil ijtihad Nabi sendiri. Wahyu bersifat mutlak sedangkan ijtihad Nabi relatif.
“Dalam persoalan kepemimpinan Nabi yang terinspirasi wahyu, kandungannya tidak bisa diganggu gugat dan tidak boleh dipertanyakan ulang. Sedangkan kepemimpinan Nabi yang berasal dari ijtihadnya bisa dijadikan sebagai sumber keteladanan dan bisa juga tidak,” jelas Irianto yang merupakan Staff Ahli Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi ini.
Okto dalam hal ini mencontohkan strategi perang yang ditawarkan Nabi kepada para sahabatnya. Ada sahabat Nabi yang bernama Khabab bin al-Munzir yang menanyakan kepada Nabi apakah strategi perang Badar ini berasal dari Allah atau tidak. Ketika Nabi menjawab bahwa strategi ini berasal dari dirinya, bukan dari Allah, sahabat Nabi menyarankan strategi lain dan ternyata strategi sahabat Nabi ini yang lebih jitu dalam menggempur musuh.
Contoh ini, menurut Okto, menunjukkan bahwa Nabi sangat menerima saran dari sahabat-sahabatnya sehingga dalam hal ini beliau merupakan pemimpin yang sangat terbuka terhadap usulan-usulan.
Nabi sangat menekankan pada musyawarah dan mufakat dalam berbagai kebijakan-kebijakan politik, social, ekonomi dan lain-lain dan hal ini sangat banyak ditemukan contohnya. Menariknya, menurut Okto, meski mendapatkan back-up dari langit, Nabi tetap bermusyawarah dengan para sahabatnya. Penekanan Nabi pada musyawarah ini menunjukkan sisi egalitarianism dalam sistem kepemimpinannya.