Keganjilan, kejanggalan, keanehan, ketidaksesuaian hingga imajinasi yang terjadi pada sekitar sebelas tahun lalu, akhirnya mulai diungkap. Seorang jurnalis yang lama malang melintang dalam liputan-liputan politik dan hukum, mencatat peristiwa-peristiwa terkait dengan penetapan status tersangka hingga Anas Urbaningrum menjalani proses peradilan melalui sebuah buku. Narasi yang legendaris saat itu, dijadikan sebagai judul buku: Halaman Pertama Anas Urbaningrum.
Tofik Pram, sang jurnalis penulis buku, hadir sebagai satu dari beberapa pembicara dalam acara peluncuran dan bedah buku “Halaman Pertama Anas Urbaningrum”, yang digelar oleh Perhimpunan Pergerakan Indonesia DKI Jakarta dan SA Institute di Sadjoe Cefe, Sabtu (05/02/2022). Pembicara lain yang hadir, ada Firman Wijaya, mantan penasehat hukum Anas Urbaningrum.
Ada pula Gede Pasek Suardika, mantan Ketua Komisi III DPR, yang sekarang menjadi Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang juga dikenal sebagai loyalis Anas Urbaningrum. Ada juga pengamat politik Islah Bahrawi dan pakar hukum pidana, Suparji Achmad.
Sebagai penulis buku, Tofik Pram juga dikenal dengan karya bukunya yang berjudul “Antasari: Saya Dikorbankan”. Sama seperti buku sebelumnya, Tofik Pram dalam diskusi tentang buku Halaman Pertama Anas Urbaningrum tersebut mengatakan bahwa buku ini terbit, salah satunya, karena alasan dia melihat ada yang “tidak beres” dengan proses hukum di Indonesia.
Tofik Pram mengakui, keyakinan bahwa ada yang ganjal dan ganjil dalam kasus Anas Urbaningrum dimulai ketika dia mendengar pernyataan Anas Urbaningrum. Bahwa, satu rupiah saja terlibat korupsi Hambalang, Anas siap digantung di Monas.
Pernyataan ini, menurut Tofik, menunjukkan bahwa Anas berani menanggung jika dia terbukti korupsi. Di sinilah keyakinan itu muncul, bahwa kasus Anas Urbaningrum tidak semata-mata kasus hukum. Lebih tepatnya, kasus ini didominasi oleh adanya kepentingan-kepentingan politik.
Firman Wijaya mengatakan bahwa dirinya merasa bangga pernah membela Anas Urbaningrum. Menurutnya, Anas adalah seorang yang visioner. Begitu juga dalam politik. Karena itu, sepanjang mendampingi Anas Urbaningrum sebagai penasehat hukum, dia menyaksikan banyak hal yang janggal dan ganjil dalam rangkaian proses hukum.
Terutama soal tuduhan “proyek lain-lain” yang dilekatkan pada penersangkaan hingga pendakwaan Anas. “Saya waktu itu menyatakan ini seperti imajiner. Tidak ada dalam ketentuan hukum kita yang menyatakan seseorang bisa dihukum karena proyek lain-lain. Ini seperti menu pilihan, bisa proyek ini atau proyek itu,” kata Firman.
Padahal, ini menyangkut nasib seseorang. “Tapi, tidak pernah disebutkan proyek apa yang dituduhkan pada Mas Anas. Siapa pemborongnya? Siapa mandornya? Siapa pelaksananya?” kata Firman.
Gede Pasek Suardika mengungkap “halaman yang lain”. Pada saat kasus ini muncul, upaya untuk mendorong agar Anas Urbaningrum menjadi tersangka sudah muncul begitu masif melalui peradilan opini. “Saat itu, opini agar Anas Urbaningrum menjadi tersangka sangat massif dan luar biasa kuatnya,” kata Gede Pasek Suardika.
Sehingga, sangat jelas bahwa kasus yang dituduhkan pada Anas Urbaningrum penuh kejanggalan, keganjilan dan keanehan. Tujuan menjadi kelihat, yaitu ingin mematikan Anas Urbaningrum secara politik. “Puncaknya adalah sprindik bocor itu,” kata Pasek Suardika.
Dalam pandangan pakar hukum Suparji Ahmad, apa yang dilakukan Anas Urbaningrum sejak awal adalah berjuang untuk mendapatkan hak atas keadilan bagi dirinya. Namun persoalannya, dunia hukum masih diwarnai oleh mafia hukum atau kepentingan-kepentingan politik.
Namun, keadilan harus tetap diperjuangkan, bahkan ketika proses hukum itu secara formal dinyatakan telah selesai. Karena, ada banyak preseden dimana kebenaran dan keadilan kembali bisa dihadirkan setelah ditemukannya bukti-bukti baru. Atau, ditemukannya pelaku-pelaku yang sesungguhnya.
“Inilah yang harus terus diperjuangkan untuk mendapatkan keadilan bagi Anas Urbaningrum,” tandas Suparji.
Inilah tayangan diskusi dan bedah buku Halaman Pertama Anas Urbaningrum