Kliksaja.co – Pakar Naskah Kuno dan Budayawan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari Sulawesi Tenggara (Sultra), Prof Dr La Niampe M.Hum merasa memiliki tanggung jawab moril untuk mengambil peran dalam meluruskan berbagai tanggapan pro dan kontra terhadap tindakan berbagi yang dilakukan oleh Gubernur Sultra, H Ali Mazi SH, dalam peringatan HUT ke-15 Buton Utara (Butur), yang dinilainya sebagai bagian dari tradisi asli Provinsi Sultra.
Ia menilai, jika dilihat dari sudut pandang budaya maka tindakan Gubernur Provinsi Sultra pada HUT Butur tersebut, tidak ada yang salah, justru sangat dianjurkan karena tidak lepas dari tradisi dan kegembiraan masyarakat atau keluarga yang memiliki hajatan.
“Jika melihat kejadian tersebut dari sisi budaya, maka tindakan Gubernur, Ketua DPRD, termasuk Bupati, tidaklah salah karena tindakan berbagi dimaksud merupakan bagian dari tradisi asli Sultra, khususnya tradisi karia atau kalempangi pada Masyarakat Muna. Para tokoh atau pejabat yang menghadiri acara itu akan merasa malu jika tidak membawa sejumlah uang, karena dalam prosesi tersebut terdapat satu tahapan pada tradisi itu, yakni aksi melemparkan uang atau barang lainnya di atas pentas atau di tengah-tengah keramaian ataupun pada acara tersebut,” ucap salah satu guru besar di UHO ini.
Pakar Budaya Nasional asal Sultra ini melanjutkan, aksi yang dilakukan Gubernur, Ketua DPRD, dan Bupati tersebut sangat pantas dilakukan di Butur, mengingat Butur secara adminitrasi, sebelumnya berasal dari Kabupaten Muna, sehingga pengaruh kebudayaan Muna masih kental di tengah-tengah masyarakat Butur dan hal ini tidak bisa dihindarkan.
“Berbicara budaya di Sultra tentu sangat banyak, tetapi empat yang dominan, yakni Tolaki, Buton, Moronene, dan Muna. Lalu, apakah yang dilakukan Gubernur, Ketua DPRD, dan Bupati salah? Kalau menurut saya dari sisi budaya tidak ada yang salah. Khususnya budaya Sultra, karena ini namanya transformasi tradisi, ini perlu digaris bawahi,” bebernya.
Ketua Senat UHO ini mengatakan, tindakan berbagi dalam sebuah momen atau acara tersebut merupakan hal yang biasa, sehingga dirinya sangat menyayangkan jika terjadi pertentangan-pertentangan yang datangnya belakangan.
“Hal ini tidak boleh dipertentangkan karena ini bagian dari transformasi tradisi, apalagi di Sultra tradisi membuang-buang uang atau melempar uang, atau benda lain yang berharga selain uang salah satunya ada dalam tradisi Muna yakni Karia. Dalam tahapan Karia ini, ada namanya Kafosampu yakni menampilkan wanita-wanita untuk menari sebagai luapan kegembiraan karena dianggap baru lahir kembali atau atau suci kembali dan merdeka, sehingga saat menari, orang-orang yang hadir akan melemparkan uang atau barang berharga lainnya yang tidak boleh di amplop dan sengaja dihamburkan,” tutur dia.
Dia melanjutkan, jadi dalam acara adat tersebut harus berhati-hati terhadap orang yang diundang karena budaya tidak mengenal presiden, gubernur, dan lain sebagainya dan tetap ikut dalam budaya setempat, misanya saat menghadiri Karia maka terpaksa harus melempar uang atau barang berharga lainnya yang tidak boleh diamplop.
“Berkaitan dengan HUT Butur dimana terdapat aksi berbagi yang dilakukan Gubernur, Ketua DPRD, dan Bupati tidak lepas dari tradisi Karia karena menjadi luapan kebahagian terhadap daerah yang baru lahir atau merdeka yang kurang lebih 50 Tahun bersama Muna. Dan Ali Mazi disini juga jangan hanya dilihat sebagai Gubernur atau orang Buton, tetapi juga masih Keturunan Sugi Manuru, jadi tidak bisa dilepaskan dari Muna, termasuk orang Tolaki. Jadi berbicara sejarah, semua tidak bisa dilepaskan dan inilah pentingnya bagi masyarakat Sultra mengenal sejarah budayanya agar tidak ada sekat apalagi alasan perpecahan. Ini sesuai dengan buku yang saya buat yakni merawat keberagaman yang sebentar lagi diluncurkan,” pungkasnya.