Jakarta- Forum Dosen Ekonomi dan Bisnis Islam (Fordebi) menyikapi Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) dan menyampaiakn pendapat bahwa tidak tepat pengaturan KSP (Koperasi Simpan Pinjam) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Saat ini Pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undnag Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang pada Bab XII akan mengatur tentang Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
“Koperasi secara esensi kumpulan orang bukan kumpulan modal sebagaimana perusahaan-perusahaan bisnis yang ada. Adapun transaksi keuangan maupun kegiatan ekonomi lainnya timbul akibat adanya kumpulan orang”. Jelas Dr. Aji Dedi Mulawarman, Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional FORDEBI (30/11/2022).
Menurut Bapak Koperasi, Proklamator kita Moh. Hatta dalam bukunya “Bung Hatta Menjawab” menyatakan “Koperasi punya disiplin dan dinamik sendiri. Sandarannya adalah orang, bukan uang! Koperasi adalah merupakan kumpulan dari pada manusia, sedangkan uang faktor kedua. Sedang PT adalah merupakan kumpulan modal.” Kutip Dr. Aji Dedi Mulawarman.
Sebelumnya telah ramai penolakan RUU PPSK berkaitan dengan pengaturan KSP di RUU PPSK. Penolakan oleh pelaku gerakan Koperasi di Indonesia. Salah satu alasan penolakannya adalah peraturan tersebut akan memindahkan perijinan, pengawasan dan pembinaan KSP dari kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurut para penggiat Koperasi, pengaturan perijinan, pengawasan dan pembinaan KSP oleh OJK akan menghilangkan jatidiri Koperasi yang berbasis orang bukan uang.
Forum Dosen Ekonomi dan Bisnis Islam (Fordebi) berpendapat sejalan dengan Gerakan Koperasi bahwa tidak tepat pengaturan KSP di bawah OJK.
Sebagai wadah dosen yang menggeluti keilmuan tentang Ekonomi Islam, maka Fordebi berpendapat bahwa koperasi yang didalamnya termasuk Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam, merupakan usaha ekonomi kerakyatan yang berbasis tolong menolong antar anggota sebagaimana Islam mengajarkan tentang konsep taawun yang memiliki pengertian kerjasama.
Pada terminologi agama taawun adalah suatu pekerjaan maupun perbuatan tolong-menolong antar sesama manusia yang didasari pada hati nurani dan semata-mata mencari ridha Allah. Adapun dalam terminologi bisnis atau ekonomi, taawun juga meliputi konsep kekeluargaan dan gotong royong yang merupakan ruh dari Koperasi.
Artinya, Koperasi tidak semata-mata mencari profit tetapi juga memberikan benefit. Koperasi juga mengedepankan kesejahteraan para anggotanya yang merupakan pengguna jasa Koperasi sekaligus sebagai pemilik Koperasi itu sendiri. Di sinilah Fordebi melihat bentuk Koperasi sejalan dengan Ekonomi Islam.
“Ekonomi Islam mengajarkan bagaimana setiap usaha tidak hanya berorientasi pada keuntungan dunia semata tetapi juga keuntungan ukhrawi, yang disebut sebagai konsep falah. Dalam hal tersebut Koperasi yang memegang prinsip dari, oleh dan untuk anggota dapat mengimplementasikan konsep falah dengan mengembangkan benefit dari kegiatannya.” Tambah Ketua Umum FORDEBI.
FORDEBI menilai bahwa Koperasi Indonesia oleh para leluhur para pendiri bangsa dicita-citakan sebagai sarana membangun ekonomi rakyat yang kuat. Semangat tersebut semakin relevan di tengah perjuangan melawan gerakan kapitalisme yang semakin menguat, semakin pudarnya nilai kekeluargaan dan kegotong-royongan serta semakin menguatnya individualisme di tengah masyarakat.
FORDEBI juga memberikan argumen bahwa koperasi merupakan sebuah kekuatan tersendiri bagi pembangunan. Koperasi merupakan wadah yang menggabungkan kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok dimana melalui kegiatan kelompok maka kepentingan pribadi para anggota menjadi kekuatan pendorong yang memberikan manfaat bagi seluruh anggota kelompok.
“Koperasi mempunyai ciri-ciri tersendiri yaitu untuk melayani kepentingan ekonomi anggota. Hal demikian di atas akan berbeda dan akan berubah jika Koperasi kemudian dipaksakan dalam pengawasan OJK.” Tegas Dr. Aji Dedi Mulawarman.
“Pengawasan oleh OJK akan mengubah secara garis besar tentang filosofi, jatidiri, prinsip, landasan operasional, laporan keuangan, bahkan struktur, laporan, parameter dan indikatornya. OJK akan melakukan model pengawasan standar dalam lembaga keuangan yang mengacu pada rasio-rasio keuangan, sanksi, denda dan pidana.” Tambah Aji Dedi Mulawarman.
Aji Dedi menambahkan bahwa hal tersbeut tidak sejalan dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945. OJK akan menerapkan pungutan pada proses pengawasan terhadap KSP. Pungutan tersebut justru akan memberatkan karena Koperasi sebagai organisasi sosial yang semua tanggung jawab dan sebagainya diputuskan bersama-sama berdasarkan modal sosial.
“Pungutan yang dibebankan kepada Koperasi sebagai konsekuensi untuk masuk ke dalam pengawasan OJK, akan mengubah karakteristik Koperasi hanya menjadi lembaga keuangan yang berorientasi mencari keuntungan (profit) dengan mengabaikan benefit yang diperoleh anggotanya. Juga apabila pengawasan Koperasi dilakukan oleh OJK dapat dipastikan Koperasi akan lebih sulit untuk melakukan pinjaman atau pembiayaan tanpa jaminan, mitigasi risiko koperasi akan sangat ketat dan berpotensi menghilangkan eksistensi Koperasi bahwa Koperasi adalah miliknya anggota sendiri.”
Berdasar pertimbangan di atas maka Fordebi berpendapat bahwa pengawasan terhadap KSP dan USP tidak tepat dilakukan oleh OJK, tetapi tetap berada di Kementerian Koperasi dan UKM yang telah lama memahami filosofi dan jatidiri Koperasi. Kelemahan Kemenkop saat ini dapat diatasi dengan peningkatan anggaran maupun peningkatan sumber daya manusia (SDM) Kementerian Koperasi dan UKM sehingga mampu memberikan dukungan pengawasan terhadap koperasi di Indonesia yang jumlahnya memang tidak sedikit di seluruh Indonesia.
Untuk jangka panjang gagasan pembentukan Komisi Pengawasan KSP/USP perlu dipertimbangkan juga. Komisi Pengawas Koperasi atau Komisi Pengawas Koperasi terdiri dari unsur:
a. Pemerintah / Pemerintah Daerah
b. Dewan Koperasi dan/atau Asosiasi KSP yang sah.
c. Akademisi dan/atau Praktisi bidang Perkoperasian.
Lembaga Pengawas Koperasi atau Komisi Pengawas Koperasi ini ada di tingkat Nasional, tingkat Provinsi, dan tingkat Kabupaten/Kota, dimana ketentuan lebih lanjut tentang pembentukan Komisi Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.